Sing Penting Yakin!

Aku patut bersyukur sebagai orang Katolik, selain mempunyai banyak orang kudus yang dapat menjadi pendoa untuk perjuanganku, aku dapat mendoakan juga orang yang sudah meninggal. Gereja memperingati Pesta Semua Orang Kudus setiap tanggal 1 November, esoknya pada tanggal 2 November, Gereja memperingati Arwah Semua Orang Beriman. Sepengetahuanku, dua peringatan itu berturut-turut dirayakan karena mempunyai alasan. Para orang kudus adalah orang-orang yang telah berhasil hidupnya selama di dunia untuk menjadi pahlawan, setia dan membela iman hingga akhir hidupnya. Gereja meyakini mereka telah menempati tempat yang Tuhan janjikan yaitu di sisi Allah Bapa di surga. Sementara para arwah umat beriman, adalah orang-orang yang juga setia pada imannya namun mungkin masih berada di api penyucian, maka mereka membutuhkan doa dari kita yang masih hidup di dunia ini.

Meyakini kekayaan Gereja yang agung tersebut, aku terbawa pada kenanganku bersama dengan sosok lelaki yang amat dekat denganku, Ayah. Sejak aku masih kecil, aku memang sangat dekat dengan ayah. Ia adalah sosok pribadi yang mengagumkan bagiku. Ia mewariskan kepadaku kekayaannya, yaitu bakat dan hobi yang berurusan dengan alat-alat menggambar, dan dalam banyak hal kami amat nyambung. Kedekatanku dengan ayah semakin dekat terutama saat ayah harus terbaring di rumah sakit selama beberapa waktu. Penyakit diabetes yang sudah lama ia derita semakin parah. Aku merasa sedih dan tidak tega melihat penderitaan ayah. Namun aku berusaha menutupi kesedihanku, aku berusaha kuat, karena melihat ayah memiliki semangat yang luar biasa untuk sembuh. Di sisi lain aku terkagum melihat tawa serta senyum yang selalu menghiasi wajahnya, meski kondisi kesehatannya tak kunjung membaik.

Sampai di suatu malam, ayah menerima sakramen pengurapan orang sakit. Aku berada di sisinya dan berusaha terlihat tegar di hadapannya, namun sesungguhnya pikiranku sudah melayang dalam berbagai bayangan dan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Aku takut dan belum siap jika ayah harus pergi, aku sungguh ingin ayah sembuh. Aku rindu bisa menuangkan pikiran dalam rupa lukisan, sembari saling bercerita apa saja yang terjadi dalam hari-hari lalu. Aku hanya bisa berdoa serta berharap, tetapi tetap ku pasrah sepenuhnya pada Tuhan, Ia yang berkuasa atas semuanya.

Ketakutanku menjadi kenyataan, pada tanggal 23 Oktober 2013 ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saat Ayah dipanggil Bapa, sulit rasanya aku tuk percaya. Secepat itu kah ayah meninggalkanku? Aku menggenggam tangannya, dengan air mata yang deras mengalir dari sudut mataku. Tiada henti aku memandang wajahnya dengan penuh pertanyaan dan ketidakpercayaan. Hatiku gamang melihatnya terbujur dalam damai, sedangkan aku di sisinya berontak pada Sang Pemberi Hidup. Tuhan, secepat inikah Engkau memanggil seseorang yang sangat kucintai? Engkau tega menjadikanku anak yatim? Engkau tahu aku masih sangat membutuhkan kasih sayang dan pendampingan dari sosok ayah, mengapa Engkau begitu lekas mengambilnya dari padaku? Ah, Tuhan, aku memang ingin ayah sembuh dari penyakitnya, tapi mengapa dengan menutup usianya?  Kenapa Tuhan, kenapa?! Begitu banyak protes dan amarah berkecamuk dalam hati dan pikiranku.

Aku menjadi sangat sedih dan terpukul. Hari-hari kulalui dengan meratapi kepergian ayah, aku merasa kecewa dan marah kepada Tuhan. Semangatku lenyap, hatiku kalut, tak lagi kupikirkan studiku, walau aku tahu sebentar lagi ujian kelulusan SMP tiba. Dimana Tuhan saat ku tenggelam dalam air mataku? Ternyata Tuhan sudah menyiapkan rencana yang terbaik untukku. Satu persatu siraman berkatNya menyegarkanku, tangan-tangan roh kudusNya senantiasa membangkitkanku. Kalau bahasa kids jaman now, Tuhan nyiapin moodbooster yang ‘da best’ untukku.

Tak terasa ujian nasional SMP sudah kulalui dengan penuh percaya diri. Aku ingin buktikan pada ayah bahwa di surga sana ia akan menepuk dada dengan bangga sambil berkata kepada Bapa; “itu anakku!” Ku yakin Tuhan akan tersenyum, mungkin bahkan tertawa atas sikap ayah. Tak cukup sampai lulus dari SMP, anugerahNya terus kurasakan mengalir dalam hidupku. Aku diterima di salah satu SMA yang kebetulan tak terlalu jauh dari tempat peristirahatan terakhir ayah. Tak lagi ku bersungut-sungut pada Bapa atas apa yang kualami. Saat aku rindu ayah, aku akan menyapanya dalam doa, dan rutin berziarah ke pusara ayah.

Kini aku baru saja memasuki dunia perkuliahan, aku terus berusaha untuk menerima dan mengikhlaskan kepergian ayah. Menerima, adalah kunci supaya dapat berdamai dengan keadaan. Ikhlas, satu kata sederhana namun sangat sulit dilakukan, terlebih mengikhlaskan kepergian seseorang yang amat kita cintai untuk selamanya. Kematian adalah satu hal yang pasti, tidak mungkin kita dapat mengingkarinya. Dan kematian sangat ditakuti oleh manusia, karena tak satupun mengetahui kapan kita akan pergi dari dunia fana ini. Terlebih kita tak tahu apa yang menanti di ujung hidup kita, apa yang akan menyambut kita setelah “mangkat” dari dunia. Bagi yang ditinggalkan, kematian membawa kesedihan, putus asa, amarah, dan bahkan hilang harapan.

Aku meyakini kematian bukanlah akhir dari segalanya. Secara fisik aku memang tak dapat menjumpai ayah lagi, kematian telah memisahkan kami. Namun relasi cinta dan kasih sayangku dengannya tak lekang oleh kematian, cinta dan kasih sayang itu abadi. Ayah justru lebih dekat denganku saat ini, ia selalu menemani dan menjagaku. Namun terlebih aku mengimani ayah sudah bersatu dengan Tuhan, Sang Sumber Kehidupan, dan menikmati kebahagiaan kekal. Hal inilah yang aku temukan dari proses “nrimo” yang bertahun-tahun kulalui, perlahan-lahan aku menyadari makna kematian.

Kita seharusnya tidak perlu takut akan kematian, juga tidak perlu sedih ketika seseorang yang dikasihinya lebih dahulu menghadap Bapa di Surga. Saat orang yang kita cintai diambil oleh Tuhan, kita membutuhkan iman. Imanlah yang memberi pengharapan dan kekuatan atas janji Allah, melalui Yesus putera-Nya, yang telah mempersiapkan tempat bersamaNya. Seperti tertulis pada Yohanes 14:6; “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”, demikian pula selama hidupnya ayah mengimani Yesus Sang Penyelamat, maka melalui Yesuslah ayah diselamatkan serta dibebaskan dari sakit dan derita.

Tidak akan Ia membiarkan hambaNya dicobai lebih dari kemampuannya (1 Kor 10:13). Melalui kepergian ayah, aku belajar untuk terus mensyukuri hidup, dan terus semangat menjalaninya. Kemudian yang terpenting, aku mempunyai harapan dan keyakinan bahwa kelak aku akan bertemu kembali dengan ayah di kehidupan yang kekal dan abadi di surga. Semoga di hari peringatan Arwah Semua Orang Beriman ini, kita yang masih menjalani peziarahan dalam hidup, dikuatkan dalam pengharapan, sembari tak lupa mendoakan mereka yang telah berpulang mendahului kita. Jangan bersedih dan menangis, sing penting yakin, kita tetap terikat dengan mereka dalam cinta.(dan)

 

 

Yulia Citra Mustikasari